BABAD TANAH DERMAYU

Sejarah putra Tumenggung Gagak Singalodra dari Bengelen Jawa Tengah bernama Raden Wiralodra yang mempunyai garis keturunan Majapahit dan Pajajaran, dalam tapa baratanya di kaki Gunung Sumbing mendapat wangsit.
“Hai Wiralodra apabila engkau ingin berbahagia berketurunan di kemudian hari, pergilah kearah matahari terbenam dan carilah lembah Sungai Cimanuk. Manakala telah disana, berhentilah dan tebanglah belukar secukupnya untuk mendirikan pedukuhan dan menetaplah disana. Kelak tempat itu akan menjadi subur dan makmur serta tujuh turunanmu akan memerintah disana”. Demikianlah bunyi wangsit itu.
R. Wiralodra ditemani Ki Tinggil dan berbekal senjata Cakra Undaksana. Tokoh-tokoh lain dengan pendiri pedukuhan dimaksud adalah Nyi Endang Darma yang cantik dan sakti, Aria Kemuning putra Ki Gede Lurah Agung yang diangkat putra oleh Putri Ong Tien istri Sunan Gunung Jati. Ki Buyut Sidum / Kidang Pananjung seorang pahlawan Panakawan Sri Baduga dari Pajajaran, Pangeran Guru, seorang pangeran dari Palembang yang mengajarkan Kanuragan dengan 24 muridnya.
Pedukuhan tersebut berkembang dan diberi nama “Darma Ayu” oleh R. Wiralodra yang diambil dari nama seorang wanita yang dikagumi karena kecantikan dan tkesaktiannya “Nyi Endang Darma”, serta dapat diartikan “Kewajiaban Yang Utama” atau “Tugas Suci”.

Setelah 1527, Daerah Indramayu terbagi dalam tiga propinsi meliputi :
Propinsi Singapura, meliputi sebelah timur sampai Sungai Kamal.
Propinsi Rajagaluh, meliputi daerah tengah sampai Jati tujuh.
Propinsi Sumedang, meliputi bagian barat sampai Kandanghaur.
Tahun 1681, mulai dikuasai kompeni.
Zaman pemerintahan Daenles (1806 – 1811) daerah sebelah barat sungai Cimanuk dimasukan dalam prefektur Cirebon Utara. Pada masa ini berada dalam kekuasaan kerajaan Demak. Tahun 1546 menjadi bagian kesultanan Cirebon.
Tahun 1615 sebelah timur Sungai Cimanuk menjadi bagian keultanan Cirebon dan bagian baratnya termasuk dalam wilayah kerajaan Mataram.
Tahun 1681, mulai dikuasai kompeni. Zaman pemerintahan Daendles (1806 – 1811) daerah sebelah barat sungai Cimanuk dimasukan dalam prefektur Cirebon Utara. Pada zaman kompeni menjadi ajang masuk pertempuran segitiga antara kompeni, Mataran dan Banten. Tahun 1706, Indramayu jatuh kedalam kekuasaan kompeni Belanda seluruhnya seperti halnya dengan daerah-daerah lain, Indramayu mempunyai perjalanan yang sama berada dalam kekuasaan penjajahan.(*) 
INDRAMAYU MENURUT SUMBER ETNOHISTORI

Menurut Babad Dermayu (Dasuki, 1977), momentum penting sejarah Indramayu yaitu tentang kedatangan Wiralodra. Tokoh ini disebutkan sebagai putra ketiga Tumenggung Gagak Singalodra dari daerah Banyuurip, Bagelen, Jawa Tengah. Kedatangan Wiralodra ke Indramayu disertai Ki Tinggil. Wiralodra ketika datang di tepi sungai Cimanuk memilih lokasi untuk membuka hutan di sebelah barat sungai. Daerah tersebut akhirnya berkembang menjadi perkampungan. Suatu saat Wiralodra kembali ke Bagelen, Ki Tinggil tetap tinggal di Cimanuk. Sepeninggal Wiralodra kemudian datang Endang Darma untuk bermukim di kampung tersebut. Di samping bercocok tanam Endang Darma mengajarkan ilmu kanuragan kepada masyarakat.

Keberadaan Endang Darma di Cimanuk didengar Pangeran Guru di Palembang. Bersama 24 muridnya berangkat ke Cimanuk dengan tujuan untuk menguji kesaktian Endang Darma. Tetapi di Cimanuk keduapuluhempat murid Pangeran Guru beserta Pangeran Guru dapat dikalahkan Endang Darma. Menangapi peristiwa tersebut Ki Tinggil melaporkannya kepada Wiralodra. Dengan disertai beberapa saudaranya, Wiralodra kemudian kembali ke Cimanuk. Setelah sampai, bertemu dengan Endang Darma, Wiralodra menanyakan perihal peristiwa tentang Pangeran Guru. Endang Darma mohon maaf kepada Wiralodra sambil menyatakan bahwa peristiwa tersebut tidak bisa dihindari karena Pangeran Guru terus memaksa. Mendengar jawaban tersebut Wiralodra mengajak untuk menguji kesaktian dengan catatan bila Wiralodra kalah dia menjadi pembantu Endang Darma. Sebaliknya bila Endang Darma kalah, maka ia menjadi istri Wiralodra. Akhirnya Endang Darma dapat dikalahkan. Namun Babad Dermayu tidak memberitakan tentang perkawinan antara Wiralodra dengan Endang Darma. Setelah berhasil mengalahkan Endang Darma, Wiralodra kemudian mengganti nama Cimanuk dengan Dermayu. Penggantian nama ini merupakan permintaan Endang Darma untuk mengenang namanya yang telah turut andil dalam membangun pemukiman di Cimanuk. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1527.

Mengenai tokoh Endang Darma, Babad Dermayu menerangkan bahwa Endang Darma mempunyai nama lain Ratna Gumilang, Ratu Sakti, dan Mas Ratu Gandasari. Purwaka Caruban Nagari menyebutkan bahwa Mas Ratu Gandasari adalah adik Fadlillah Khan, Putra Maulana Mahdlar Ibrahim bin Malik Ibrahim. Dengan demikian Endang Darma adalah cucu Maulana Malik Ibrahim. Sedangkan mengenai Pangeran Guru, Babad Dermayu menerangkan bahwa, dia adalah orang Jawa yang bermukim di Palembang. Pangeran Guru mempunyai nama lain Arya Dilah, putra Wikramawardhana, raja Majapahit yang ditugaskan sebagai gubernur di Palembang.

Mengenai Arya Dilah, Sajarah Banten menceritakan bahwa di Majapahit terdapat wanita jelmaan raksasa yang dijadikan selir oleh raja Majapahit. Ketika wanita tersebut mengandung, makan daging mentah dan kemudian berubah wujud ke bentuk semula. Karena takut ketahuan wanita tersebut melarikan diri dan melahirkan anak diberi nama Ki Dilah. Setelah dewasa Ki Dilah ke Majapahit dan dapat diterima raja. Ki Dilah diberi nama Arya Damar dan kemudian diangkat sebagai wakil raja di Palembang. Babad Tanah Jawi menceritakan bahwa raja Majapahit menghadiahkan kepada Arya Damar salah satu selirnya, seorang putri Cina yang dalam keadaan hamil. Di Palembang putri Cina tersebut melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Raden Patah. Sedangkan dengan Arya Damar juga mempunyai anak laki-laki bernama Raden Husin (Djajadiningrat, 1983: 265 – 266). Cerita tentang asal-usul Raden Patah menurut Babad Demak juga berkaitan dengan Arya Damar. Diceritakan bahwa Arya Damar adalah anak angkat Brawijaya yang ditugaskan sebagai adipati di Palembang. Arya Damar selain diberi jabatan juga diberi putri Cina untuk diperistri. Putri Cina tersebut adalah salah satu selir Brawijaya. Ketika mendapatkan putri Cina dalam keadaan mengandung anak Brawijaya. Di Palembang putri Cina melahirkan anak diberi nama Raden Patah (Suwaji, 1981: 14 – 38).

Dari berbagai sumber yang ada, dapat ditarik hipotesis bahwa Pangeran Guru atau Arya Dilah juga bernama Arya Damar, seorang kerabat dekat (anak atau sepupu) raja Majapahit, yang dipercaya menjadi wakil Majapahit (adipati) di Palembang. Ia juga ayah (angkat) Raden Patah. Baik Sajarah Banten maupun Babad Tanah Jawi tidak menceritakan kematian Arya (Ki) Dilah, hanya Babad Dermayu yang menceritakan kematian Pangeran Guru (Arya Dilah) karena perang melawan Endang Darma. Masuknya Islam di Indramayu berdasarkan beberapa sumber sejarah setidak-tidaknya dilakukan oleh dua orang tokoh yaitu Syekh Datuk Khapi dan Sunan Gunung Jati. Babad Dermayu menyebutkan bahwa pada tahun 1415 Syekh Datuk Khapi datang di Cirebon untuk menyebarkan Islam (Dasuki, 1977: 50). Menurut Purwaka Caruban Nagari, Syekh Datuk Khapi tidak lain adalah Syekh Nurjati atau Syekh Idhopi, ulama dari Arab. Datang di Jawa pada tahun 1420 menetap di Singapura, yaitu kampung di Pasambangan, Cirebon (Ekadjati, 1975: 88; Sunardjo, 1983: 38). Meskipun Syekh Datuk Khapi memusatkan aktifitasnya di Ceribon, namun islamisasi yang dilakukannya juga mencapai daerah Indramayu khususnya di daerah Pabean (daerah pantai). Pada tahun 1471 Sunan Gunung Jati juga mengislamkan daerah Indramayu yang berpusat di daerah Babadan. Mengenai komunitas muslim di Indramayu Tomé Pires yang datang pada tahun 1513 menyatakan bahwa di Cimanuk banyak orang beragama Islam, tetapi syahbandarnya bukan orang Islam (Dasuki, 1977: 51). Melihat bebrapa angka tahun peristiwa sejarah pada Babad Dermayu, dapat disimpulkan bahwa peristiwa terbunuhnya Pangeran Guru oleh Endang Darma berlangsung pada sebelum tahun 1527. Dengan demikian ketika itu di Indramayu merupakan awal masa Islam.


Sumber : jabar.go.id